Udah
dua minggu lebih ini aku nggak buka Instagram (Yey!! Ternyata aku bisa,
hahaha... *aku bangga 😎).
Bukan apa-apa, terakhir aku buka, alogaritma Instagramku nggak
baik. Selain itu, baru aku sadari kalo kapasitas kepalaku saat ini
ternyata tidak cukup punya banyak ruang kosong untuk menampung pikiran-pikiran
baru (yang lama-lama buang makanya jangan ditampung terus, Malih!!!). Di
samping itu, terakhir kali aku log in, aku sedang ada di mode harus mengurusi dan menyelesaikan banyak hal, dan kebetulan berbarengan dengan datangnya masa premenstrual syndrome (tau sendiri kan perempuan kalo
lagi PMS rasanya gimana, orang nafas aja bisa jadi salah 😅).
Semua hal itu tentunya adalah kombinasi ciamik untuk membuat diri merasa begitu
buruk ketika kena alogaritma Instagram yang tidak terlalu baik. Bawaannya bikin mood
drop dan akhirnya overthinking. Ujung-ujungnya tanpa sadar negative
vibesku leaking di sana sini. Ini tentu tidak menyenangkan
buatku dan buat yang lain pastinya. Aku juga pernah baca kalo ketika kita
terlalu melekat pada sosial media, setiap apapun yang kita baca akan memberi
"vibes" negatif pada pikiran kita. Even, ketika yang kita
lihat itu hal baik. Katanya, ini terjadi karena sering kali otak kita secara
otomatis merespon dengan cara membandingkan diri kita dengan apa yang kita
baca. Ini berasa banget karena belakangan, akibat keseringan scrolling mindlessly di
sosmed, aku sering terbawa suasana. Secara tidak sadar aku seolah berusaha mencari banyak jawaban hidupku di sosmed (tanya
Tuhan kan harusnya aku bukan buka sosmed). Aku mulai kepikiran kayaknya hidupku
nggak sesuai seperti "how to" atau "what
if" yang ada di sosmed deh. Padahal, aku pernah dikasih tau dan
diingatkan seorang teman bahwa apapun yang ada di sosmed itu adalah "manufactured".
Dan sebenarnya, secara sadar aku paham bahwa kehidupan manusia itu
masing-masingnya unik. Jadi nggak fair sama sekali kalo harus dinilai cuma
dengan indikator how to atau what if yang
berseliweran di sosmed. Cuma kadang ya kondisi kita kan nggak selalu ada
di mode "sadar" yah? Makanya, sebagai manusia yang di DNAnya
tertanam bakat overthinker, ku pikir mengambil jarak, melepas
kemelekatan (pada hal apapun) dan berjeda menjadi hal sangat penting.
Aku ingat, dalam sebuah obrolan, seorang teman pernah bilang sama aku kalo kita marah atau saat kondisi emosional kita berada di zona "negatif", energi tubuh kitapun bawaannya negatif. Ini nantinya terefleksi pada tingkah laku kita sehari-hari. Belakangan, akibat dari terlalu melekatnya aku pada sosmed (dan pada berbagai kemelekatan lainnya), aku merasa aku jadi mulai membawa "baggage" emosi negatifku kemana-mana. Untungnya aku segera menyadari kalo aku sudah mulai tenggelam dan bergravitasi pada emosi negatifku sendiri. Makanya buru-buru aku log out Instagramku (ini satu-satunya sosmed yang masih sering kupake) dan aku putuskan segera ambil jeda selama aku bisa (meskipun awalnya gatel kali tanganku pengen buka sosmed). Aku udah janji sama diri sendiri, taun ini apapun yang terjadi aku nggak boleh diombang-ambing lagi sama pikiran dan vibes negatif. I need to drive my own wheels (mau sampai kapan coba kau jadi korban pikiran sendiri hey!).
Aku
sebenarnya sudah melakukan "hiatus" dari sosmed ini di Twitter ("X" sih
namanya sekarang, tapi aku masih lebih suka manggil "Twitter") dan
Facebook sejak lama. Facebook malah sudah kutinggalkan sejak huru-hara Pilpres
2019 (gerah say liatin orang berantem). Aku kadang-kadang log in cuma
buat iseng cek notif doang. Itupun frekuensinya bisa kayak lima bulan sekali atau
bahkan pernah setaun sekalipun aku nggak log in sama sekali. Nah, Twitter sendiri
sebenarnya dulunya buat aku pernah jadi medsos paling bikin betah karena isinya
adalah obrolan receh yang bikin kepala fresh kalo lagi mumet.
Cuma entah kenapa beberapa tahun belakangan, Twitter berubah jadi sosmed paling toxic menurutku.
Tau sendirilah, Twitter sekarang isinya kalo nggak ladang buzzer politik,
kabar pembunuhan, perselingkuhan, spall spill anak ABG atau nggak ya masalah domestik lainnya
(kembalikan Twitter jadi media receh lagi tolong)
Selama
periode jeda ini, aku coba beresin semua hal yang selama ini ternyata tanpa ku
sadari belum aku selesaikan secara tuntas, termasuk beresin kacaunya semesta dalam diriku
sendiri (hahaha). Aku coba paksain baca buku lagi, journaling lagi (ini
udah aku tinggalin lama banget but lately it turns out that journaling really helps me to
recalibrate my life). Sejauh ini, aku mendapati fakta bahwa slow living dan hidup secara
analog sepertinya memang lebih cocok untuk aku yang memang tidak lahir secara
langsung dari rahim digital. Tanpa ku sadari, perubahan menjadi manusia digital
membuat kita (mungkin cuma aku) menjadi makhluk yang selalu tergesa-gesa. Aku seperti
lupa bahwa proses itu kadang perlu waktu agak lama. Yang kumaksud lama di sini ya
beneran lama secara harfiah (padahal dulu aku khatam banget lo bab "proses" ini). Dulu mindsetku sesederhana yang penting ikhtiar dulu,
masalah hasilnya jikapun harus berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun, aku
bisa tunggu. Belakangan aku malah langsung gelisah saat apa yang aku usahakan
nggak keliatan hasilnya (padahal baru beberapa hari).
Aku
juga sempat buka ulang sisa-sisa jurnalku yang ku tulis 10 tahun lalu (agak nyesel juga
aku dulu kenapa nulis jurnalnya nggak rajin). Setelah ku baca ulang, aku takjub
ternyata aku pernah menjadi manusia yang sangat resistant terhadap berbagai jenis cobaan apapun. Sekarang kok ya bisa dikit-dikit aku nyerah yah? hahahaha...
Balik
ke perkara journaling, aku sempat lama berhenti journaling karena
aku berpikir bahwa aku nggak mau nyimpen memori jelek tentang apapun dalam bentuk tulisan.
Sesederhana, aku nggak mau baca tulisan tentang hal buruk yang kemudian
nantinya buat aku ingat lagi sama hal, peristiwa dan orang yang ku anggap buruk
saat itu. Ku pikir dengan cara begitu, aku membebaskan diri dari perasaan tidak
enak, marah, kecewa, kesal, sedih, dan berbagai emosi negatifku saat itu. Ternyata,
belakangan aku sadar bahwa aku salah besar. Dengan tidak menuliskan semua yang
terjadi pada diriku saat itu, aku malah hanya sedang menyimpan "sementara" memori
buruk itu untuk kemudian muncul lagi di kemudian hari karena memori itu hakikatnya
belum benar-benar aku terima dan aku selesaikan. Aku merasa beberapa tahun ini aku sedang mengalami fase harus
"bulak-balik" menyelesaikan perkara memori buruk masa lalu akibat aku
terlalu terbiasa merepresi banyak pikiran dan perasaanku di masa lalu. Aku
belajar bahwa sering kali pikiran kita terasa lelah bukan hanya karena ada masalah yang sedang kita hadapi saat ini, tapi lebih sering karena ada hal-hal di masa lalu yang nggak kita lepas
(salah satu cara melepasnya sebenernya ya dengan cara ditulis). Karena
katanya, semakin sering kita mengabaikan emosi kita semakin sulit kita "selesai"
sama diri kita. What you resist, it persists... apa yang ditolak
itu bertahan. Tanpa kita sadari kita sebenarnya cuma sedang menumpuk pikiran dan
perasaan itu tanpa kita benar-benar hadir untuk "menyelesaikan" semuanya. Kita
cuma menuh-menuhin storage kepala kita yang pada akhirnya suatu saat dia
meledak sendiri karena udah nggak muat. Aku juga pernah denger kalo katanya ketika hidup
kita mulai berasa berantakan, hal pertama yang mestinya kita lakukan itu bukan
cari tahu penyebab di luar sana apa. Malahan, baiknya kita cari
tau dulu di dalam diri kita apa sih yang belum selesai dan masih berantakan sampai akhirnya kita bisa ketrigger sama hal eksternal. Karena prinsipnya, ibaratkan samudra,
tenangnya perut samudra nggak harus terganggu oleh ombak ataupun badai yang
terjadi di permukaannya. Mau ombak segede apapun, badai sehebat apapun, kalo samudranya tetap stabil maka semua semuanya tetap terkendali.
Dari situ aku sadar bahwa journaling buatku saat ini adalah sebuah upaya untuk "liberate" diriku sendiri dari semua hal yang menghalangi aku menjadi pribadi yang lebih baik. Aku merasa aku bisa zoom out dan melepas diri dari apa yang aku rasakan. Ini penting karena ternyata, rasa dan perasaan itu berbeda (we'll talk about it later). Jadinya, aku bisa memberi jarak antara aku dan apa yang aku rasakan sehingga aku bisa melihat gambaran besar yang sedang ku hadapi itu sebenarnya apa. Selain itu, aku juga merasa seperti diingatkan kembali bahwa kita, manusia, bukan makhluk yang hidup di satu dimensi. Ketika satu sisi sedang bergejolak, bukan berarti dimensi lainnya itu harus juga harus ikut terguncang.
Well, siapapun yang mengenalku dan merasa beberapa minggu belakangan aku agak rese dan drama atau bahkan menjadi terlalu melankolis, tolong maafkan yah (I'm a Pisces btw. Being awfully melancholic adalah setelan pabrik kami para Pisces 😅). Aku memang seharusnya dari awal sadar, ketika frekuensi energiku lebih sering berada di level energi bawah, aku harusnya segera mengambil jeda, bukannya lanjut dan babak belur, hahaha...
Seperti biasa, obrolannya jadi kemana-mana, haha.. tak apalah yah. Intinya, mari lanjutkan jeda kita. Kita lihat seberapa lama aku mampu berjeda dan melepaskan kemelekatan (pada apapun) dan fokus balik ke tujuan awal dan kembali pada diri sendiri (Ayo, masih ada paruh kedua sampai dengan tahun depan. PRmu masih cukup banyak Dea!!!). Agenda kerja kita juga enam bukan ke depan sepertinya akan lebih padat Saudara-Saudara. Tak apalah, seperti bisanya, mari ucapkan mantra kita.., yuk bisa yuk!!! 😁
I can't give you 1.3 billion rupiah but I can always find you :p
ReplyDelete