Ada cerita tentang seorang perempuan. Perempuan ini tangguh, mandiri. Dia kenal baik siapa dirinya. Dia tau apa yang ia inginkan dalam hidupnya.. Perempuan ini pemberani, tapi bukan dalam hal berkelahi. Dia berani hidup dengan caranya sendiri, dengan pilihannya sendiri. Tapi, perempuan ini juga sangat pengecut. Ya, dia begitu pengecut dalam urusan ‘menaruh hati’.
Baginya, menaruh hati pada seorang laki-laki tidak memerlukan syarat apapun. Dan baginya, rasa tersebut bukan tentang ‘kalau putus ya cari lagi’. Dia menaruh rasa secara ‘eksklusif’.
Lima tahun sudah dia mengenal
seorang laki-laki asing yang hanya dia kenal lewat internet. Laki-laki ini tinggal
jauh di benua lain. Lelaki ini sangat baik. Dia telah menjadi pahlawannya saat
hatinya porak-poranda. Mereka berdua adalah dua orang yang hatinya luluh lantah
oleh rasa yang sebelumnya. Mereka berteman dekat, sangat dekat. Tapi selama
lima tahun itu pula dia menderita. Menderita karena dia tidak pernah bisa
mengatakan apa-apa tentang perasaannya, atau bahkan menunjukan kalau dia ‘menaruh
rasa’.
Ya, perempuan ini pengecut. Dia tidak
pernah berani mengatakan apapun. Jangankan untuk berkata, bertemupun dia
terlalu takut. Sampai akhirnya, takdir membuat jarak mereka lebih dekat.
Si perempuan berpikir, mungkin
inilah saatnya dia sebuah mengambil langkah kecil. Bukan, bukan untuk
menyampaikan kalau dia menaruh hati, tapi hanya untuk melihatnya secara
langsung. Hal kecil yang dalam lima tahun tak pernah bisa dia lakukan. Bukan
karena jarak, tapi karena perempuan ini terlalu pengecut.
Malam itu, mereka berbincang
lewat internet, seperti biasa. Si laki-laki menawari si perempuan untuk datang
mengunjunginya. Dia berjanji, dia akan membawa si perempuan menjelajah negrinya.
Dia bahkan menyediakan si perempuan satu kamar kosong di tempatnya. Dia
menjamin si perempuan akan aman, tidak akan tersentuh sedikitpun. Tidak, tidak akan
ada hal apapun yang akan terjadi pada si perempuan.
Si perempuan sebenarnya ragu. Dia
kenal baik laki-laki baik ini. Tapi dia juga sadar laki-laki ini adalah orang
asing. Apapun bisa terjadi. Besar kemungkinan si perempuan tidak akan pernah
kembali. Namun jauh di dalam dirinya, si perempuan yakin dia akan berada di
tempat yang aman. Baginya, ini adalah kesempatan untuk mengkonfirmasi
perasaannya dan menemukan akhir dari penantiannya. Ini adalah tentang sekarang
atau tidak sama sekali.
Si perempuan memutuskan untuk
pergi menemui si laki-laki.Tanggal ditetapkan dan tiketpun dipesan. Hatinya mantap.
Ini adalah keputusan besar dalam hidupnya.
Suatu pagi, si laki-laki
mengirimkan pesan singkat padanya. Si laki-laki memberitahunya bahwa saat ini
dia sedang di tempat lain, menemui calon pendamping hidupnya. Hati si perempuan
hancur, lebih lebur dari pada sebelumnya. Atas pesan itu, si perempuan tentu
tidak bisa menyalahkan si laki-laki. Itu haknya untuk jatuh hati. Dan lagi
pula, mereka berdua hanya teman biasa. Terlebih si laki-laki tak pernah tau
perasaannya.
Si perempuan sempat berpikir
untuk membatalkan kedatangannya. Dia menyiapkan berbagai macam alasan untuk
pembatalannya. Tentu dia tidak bisa dan tidak mungkin mengatakan alasan yang
sebenarnya. Hatinya terlalu hancur.
Seorang temannya datang mendorongnya
untuk tetap pergi. Katanya,"Selesaikan apa yang memang harus di selesaikan". Ya,
lari dan tidak datang hanya akan menambah panjang penderitaannya. Dia tidak
pernah akan hidup tenang dengan tidak pernah menemui laki-laki itu.
Si perempuan akhirnya pergi,
meski dengan mata yang sembab. Oh, perempuan ini pandai menyembunyikan
perasaannya. Dia terlatih untuk itu. Bahkan ketika kedua mata mereka bertemu. Perempuan
ini masih bisa tersenyum. Senyum yang akan membuat seisi dunia yakin kalau dia
baik-baik saja.
Hari demi hari dia lewati. Setiap
harinya mereka berbagi cerita. Tentang hidup, tentang mimpi, tentang kesamaan
mereka dan tentang rasa. Si laki-laki begitu bangga menceritakan calon pasangan
hidupnya dan si perempuan hanya bisa tersenyum, pura-pura ikut bahagia.
Si perempuan berpikir kalau ini
terlalu tidak adil bagi dirinya. Dia ingin segera pulang dan menjauh. Tapi kemudian
temannya kembali mengingatkannya untuk tidak lari. Dia bilang "Dalam sepuluh
hari, semua mungkin terjadi". Si perempuanpun memutuskan, dia akan tetap
tinggal namun dia akan bangkit.
Tiga hari pertama terasa begitu
sulit baginya. Tidak banyak yang bisa dia lakukan selain menangis. Menangisi dirinya
dan menangisi nasibnya. Dia kehilangan malaikatnya. Namun yang lebih berat, dia
merasa mungkin dia akan hehilangan dirinya sendiri juga.
Tidak, dia tidak ingin semuanya
terus larut. Dia mengumpulkan semua sisa-sisa keberaniannya. Dia memutuskan,
dia hendak menjadikan perasaannya berubah menjadi perasaan yang egois. Ya, she would love him selfishly. Dia akan
tetap mempertahankan perasaannya. Tak peduli si laki-laki mengetahuinya atau
tidak. Tidak peduli si laki-laki mengeri atau tidak. Tak peduli si laki-laki
membalasnya atau tidak. Tak peduli si laki-laki menaruh hati pada wanita yang
mana. Si perempuan hanya ingin mencurahkan semua perhatiannya. Seluruh kasih sayangnya.
Tidak, dia sudah tidak mengharapkan apa-apa. And she repeatedly told herself ‘this is my selfish way of loving him’.
Tidak, dia sudah tidak mengharapkan apa-apa. And she repeatedly told herself ‘this is my selfish way of loving him’.
Si perempuan ternyata merasa lebih
bahagia. Her selfish love saved her. Dia
kembali menemukan dirinya. Dia menemukan keberaniannya. Dia menemukan lagi hidupnya.
Dia bisa berdiri tegak, tersenyum
lebar. Ya, senyumnya sudah bukan senyum palsu itu lagi. Senyumnya murni. Dia
sadar perasaan itu tidak harus berbalas. Dia juga akhirnya rela melepas. Baginya,
kebahagiaan si laki-laki lebih penting dari segalanya. Dia belajar merangkul
hatinya sendiri, memeluk perasaannya sendiri. Dan juga, dia merasa bahagia
karena dia memutuskan untuk datang.
Temannya benar. Kalau dia tidak
pernah pergi, dia tidak akan menjadi lebih baik.
Dey, kayanya Kita mesti beli Buku 'Kitab jodoh'nya Fira Basuki deh haha
ReplyDeleteAnw, akohh (Masih) sukak lagunya ��
Lagunya emang juara mba. Juara menyayat-nyayat hati orang, :D
Delete