Skip to main content

Tentang Kadar yang Berlebih

Setelah sekian lama otak saya berasa kosong karena nggak pernah dipake buat mikir dan merenung, akhirnya tiba-tiba ada yang menggelitik pikiran saya. Kemarin, pas saya lagi nguji mahasiswa saya, saya disuguhi sekotak camilan buat mengganjal perut yang memang belum sempat saya penuhi haknya untuk makan siang. Isi kotak camilannya lengkap: ada air mineral, ada camilan manis dan camilan asin. Terpikir di benak saya..

Air mineral yang ada di kotak camilan saya itu menyehatkan. Orang bahkan dianjurkan untuk minum kurang lebih dua liter per hari supaya selalu sehat. Tapi, si air ini juga bisa menyebabkan yang minum tersiksa karena harus pulang-pergi ke kamar kecil. Belum lagi perut si orang tersebut bisa jadi terasa "terlalu penuh", dan perasaan itu jelas tidak mengenakkan. Semuanya karena air yang menyehatkan itu dikonsumi berlebihan. Lalu, camilan manis di depan mata saya itu enak dan mengenyangkan tapi juga bisa menjadi sumber penyakit karena dikonsumsi berlebihan. Garam juga.. minyak juga.. dan bahkan sayuran hijau yang sehat dan kaya akan nutrisi juga bisa malah pemicu penyakit. Semuanya karena dikonsumsi berlebihan.

Saya jadi teringat obrolan dengan rekan kerja saya tempo hari. Kami pernah sedikit membicarakan tentang perkara musyrik dalam diri manusia. Ternyata, perkara musyrik itu batasannya bisa jadi begitu tipis. Percaya kepada selain Tuhan itu jelas adalah perkara musyrik yang nyata. Tetapi mungkin, perkara "terlalu meyakini" pun bisa mendorong manusia menjadi musyrik. Sebut saja ketika seseorang sakit lalu dia diajari untuk membaca doa tertentu atau dianjurkan untuk ke pergi ke dokter tertentu agar segera sembuh. Tidak jarang manusia terjebak dengan perkataan "saya sembuh soalnya saya baca doa ini" atau  "saya sembuh karena saya ke dokter ini". Tanpa disadari, kadar percaya terhadap doa dan dokternya bisa melebihi kadar percayanya manusia pada penciptanya. Sepele memang, tapi manusia sering lupa kalau doa, dokter atau obat itu hanyalah medianya Tuhan untuk menyembuhkan manusia. Saya juga sering begitu,,, lupa kalau semua itu sumbernya dari Sang Pencipta. Perkara agamapun demikian, manusia sering “terlalu merasa memiliki” hingga pada akhirnya lupa bahwa yang harus disembah itu Tuhannya, bukan agamanya. Pantas saja Rasulullah mengajarkan untuk selalu hidup “secukupnya”.

Dan, sebagai bagian dari makhluk bernama manusia, saya rasa saya harus lebih sering mengingatkan diri saya sendiri bahwa apapun itu, yang berlebihan itu selalu beracun.


Comments

Popular posts from this blog

Half Time: Mari Berjeda

  Udah dua minggu lebih ini aku nggak buka Instagram (Yey!! Ternyata aku bisa, hahaha... *aku bangga 😎 ). Bukan apa-apa, terakhir aku buka, alogaritma Instagramku nggak baik. Selain itu, baru aku sadari kalo kapasitas kepalaku saat ini ternyata tidak cukup punya banyak ruang kosong untuk menampung pikiran-pikiran baru (yang lama-lama buang makanya jangan ditampung terus,  Malih!!!).  Di samping itu, terakhir kali aku  log in,  aku sedang ada di mode harus mengurusi dan menyelesaikan banyak hal, dan kebetulan berbarengan dengan datangnya masa  premenstrual syndrome  (tau sendiri kan perempuan kalo lagi PMS rasanya gimana, orang nafas aja bisa jadi salah  😅 ). Semua hal itu tentunya adalah kombinasi ciamik untuk membuat diri merasa begitu buruk ketika kena alogaritma Instagram yang tidak terlalu baik. Bawaannya bikin  mood drop  dan akhirnya  overthinking . Ujung-ujungnya tanpa sadar  negative vibes ku  leaking  ...

Obrolan Kecil Bersama Ibu dan Bapak

Suatu kali.. di sela seruputan kopi pagiku, aku bilang pada Ibu dan Bapak: "Hidupku kok sepertinya selalu berputar di lingkaran yang itu-itu saja yah. Polanya tetap sama. Rasanya bahkan aku tidak ingin mengupayakan apapun. Ibaratnya kalau ada orang bilang kalau ayam itu kakinya tiga dan bisa terbang lebih tinggi dari elang,  aku sama sekali sudah tak punya keinginan untuk sanggah. Pasti ku jawab iya. Energiku rasanya habis bahkan untuk meluruskan common sense sederhana seperti itu"  Lalu... tiba-tiba ibu bilang: "Kamu itu nanti pasti bertemu badai, badaimu di depan nanti pasti lebih kencang. Kalau dengan angin kecil begini saja kamu kalah, nanti bagaimana kamu sanggup melawan badai?" Lalu Ibu melanjutkan: "Kemana yah perginya anak perempuan ibu yang biasanya tangguh dan pantang menyerah itu?" Tidak lama Bapak bergumam pelan: "Kamu itu tidak sabaran. Percaya saja waktunya Tuhan. Kalau sudah waktunya Tuhan, siapa yang bisa menahan lajunya." Dan aku...

Tentang Berlebaran (Mumpung Masih Syawal)

Sebenernya tulisan ini dirintis ditulis dari beberapa hari sebelum takbiran dan lebaran kemaren gegara efek dengerin podcastnya Milenial Islami di Inspigo. Waktu itu, kebetulan bahasannya lagi tentang berlebaran di luar negeri. Tapi akhirnya, tulisan ini baru bisa diselesaikan lima menit yang lalu dan di publish hari ini, berminggu-minggu setelah lebaran usai (yang penting masih bulan Syawal   kan yah, kan katanya bulan Syawal itu bulan banyak berkah makanya banyak yang nikah, eh ). Waktu itu males nerusin tulisan ini karena dunia perjagadmayaan keburu rusuh dan bikin gerah. Aku sempet uninstall Twitter dan Instagram untuk beberapa saat karena mumet liat makhluk Tuhan pada berantem terus gegara perhelatan copras-capres (Padahal percayalah kawan, berantem   khususnya berantem di medsos nggak bikin kita kenyang, yang ada jempol bareuh dan ngajebragan ) Jadi ceritanya begini, setelah lebih dari ribuan purnama aku hidup di dunia, baru di Lebaran taun ini aku baru ngerasain...