Skip to main content

Kenapa (harus) Kuliah di Belanda?




“Kenapa pilih kuliah di Belanda? Kenapa nggak di Australia aja biar deket? Kenapa nggak di Inggris atau Amerika aja sekalian? Atau ke Jerman aja? Atau kenapa nggak di sini aja? Kan sama aja kuliah?
Kenapa? Kenapa? Kenapa?”

Jawabannya sederhana,  saya kuliah di Belanda itu ya karena saya mau kuliah di sana. Dulu itu, saya pernah begitu tergila-gila sama Robin van Persie, striker Arsenal yang akhirnya cabut dari Arsenal dan sukses bikin patah hati๐Ÿ˜ญ. Nah, si Robin ini orang Belanda, jadi saya semacam terobsesi sama dia dan Belanda.๐Ÿ˜

Nggak deng, Nggak itu aja. Alasan seriusnya adalah karena saya memang dari dulu pengen sekolah di luar negeri. Bukan karena gengsi atau pengen sok-sok-an. Bukan, bukan... buat  saya, sekolah di luar itu adalah bentuk pembuktian pada diri saya sendiri. Bisa nggak sih saya survive di luar zona nyaman saya. Selain itu, saya kuliah di sana untuk membayar rasa penasaran dan bersalah saya karena pas SMA saya pernah gagal ikutan program pertukaran pelajar ke Amerika.

Dulu itu saya pernah iseng-iseng ikutan program pertukaran pelajar ke Amerika. Tapi saya sama sekali nggak serius menjalani semua tesnya dan gagal. Awalnya, saya sih lempeng-lempeng aja sama hasil tes program pertukaran itu. Tapi kemudian, temen saya yang lolos kasih tau saya kalau nilai saya dengan nilai Top 5 yang lolos ke Amerika itu cuma selisih 0,5. Dia juga semacam membuat saya menyesal dengan bilang mungkin kalau saya serius, saya juga bakalan lolos bareng mereka. Alhasil, saya pun sukses dibuat  merasa menyesal. Dari situ saya berjanji sama diri saya sendiri, kalo suatu hari nanti saya juga harus bisa sekolah di luar negeri. Dan Belanda jadi pilihan saya karena alasan si Robin tadi. Selain itu, karena saya lulus dari jurusan eksitotis ‘Sastra Sunda’, ada semacam dorongan buat berbuat lebih. Rasa-rasanya belum cukup aja ilmu saya kalo saya cuma berhenti di S1. Dan kebetulan katanya, ada banyak sumber bahasa Sunda di Belanda (dan ternyata benar).

Setelah saya benar-benar kuliah di Belanda, harus saya katakan bahwa saya jatuh cinta dan sangat menikmati kultur akademik negeri kincir angin tersebut.

Hal pertama yang saya notice dari perkuliahan di Belanda adalah tidak adanya presensi. Kamu mau bolos kek, mau rajin masuk kek, apapun itu… terserah kamu (asal jangan dateng telat ke kelas, bukan apa-apa, kita malu sendiri aja kalau kita telat masuk kelas karena yang lain on time). Dosen di sana nggak pernah repot-repot memeriksa siapa mahasiswanya yang hari itu absen. Tanggung jawab untuk masuk kuliah itu ada di mahasiswanya masing-masing. Temen sekelas saya, Gert-Jan namanya, pernah suatu kali datang kuliah dengan keadaan masih sedikit hangover akibat party semalam suntuk. Matanya masih merah, ngomongnya masih agak ngaco dan katanya kepalanya pun masih pusing. Ketika saya tanya kenapa masih maksain dateng ke kelas padahal dia masih hangover, jawaban dia singkat “I did register for this course, didn’t I?”. Jadi katanya, karena dia sudah kontrak perkuliahan tersebut, dia harus tanggung jawab untuk selalu dateng ke kelas dalam keadaan apapun. Luar biasaaa๐Ÿ‘

Terus ada semacam academic freedom di kelas. Dosen itu lebih seperti teman diskusi dari pada pengajar. Mayoritas dari mereka malah minta untuk dipanggil langsung dengan nama depannya tanpa embel-embel ‘sir’ atau gelar akademik lainnya. Kita diberi ruang sebebas-bebasnya untuk bertanya, berpikir sekritis-kritisnya, seliar-liarnya asal ada argumen yang jelas. Ini menyenangkan karena kita dipaksa untuk selalu penasaran dan mau cari tahu. Kepercayaan diri kitapun semakin timbul karena kita dibiasakan untuk berani mengungkapkan pendapat dan yakin dengan ide kita sendiri. Teman saya pernah bilang “a question is a question, there’s no such thing as stupid question”. Yup, apapun itu, tanyain aja. Kita juga bisa buat janji dan ketemu di luar perkuliahan jika memang ada yang mau kita diskusikan dengan dosen. Bahkan, kita juga bisa protes kalau merasa nilai akhir kita tidak sesuai. Kita tinggal buat janji, datang dan diskusi serta utarakan argumen kenapa kita layak dapat nilai lebih. Semuanya bebas asal kamu punya argumen yang jelas.


Belum lagi failitas akademik yang bikin betah. Internetnya kenceng, akses ke jurnal-jurnal internasional terkemuka juga gampang, ditambah dengan fasilitas perpustakaan yang bikin nggak mau pulang. Di perpustakaan disediakan komputer untuk kamu yang males nengteng laptop. Ada juga lounge room, dan ruang diskusi lainnya. Jadi kalau kita mulai jenuh sama tugas yang sedang kita kerjakan, kita bisa rehat sejenak di ruang tersebut. Jam buka perpustakaan pun mendukung. Di musim dingin biasanya perpus buka sampai pukul 20.00 sedangkan di musim panas perpus bisa buka sampai pukul 23.00. Di masa-masa ujian perpus bahkan buka dari pukul 08.30 sampai pukul 24.00. Untuk orang yang selalu butuh tempat hijrah untuk mengerjakan tugas dan thesis karena selalu tergoda dengan kasur dan Youtube seperti saya, that was such a big help!

Selain itu, yang paling jadi favorit saya adalah proses pembelajaran yang mengedepankan process-oriented. Hasil bagus memang perlu, tetapi  bisa menikmati setiap proses itu jauh lebih menyenangkan buat saya. Entah karena faktor kelas saya adalah kelas internasional dimana mahasiswanya punya latar yang berbeda-beda atau memang karena sudah kulturnya, rasa-rasanya saya belum pernah lihat ada ‘contek-contekan’ atau copy paste sesama mahasiswa. Setiap orang punya tanggung jawab sama tugasnya masing-masing. Semuanya dikerjakan sendiri. Kalaupun ada yang sulit, kita bisa diskusi dengan teman sekelas kita. Mereka pasti dengan senang hati akan menjelaskan.  Atau kalaupun mau, kita bisa tanya langsung ke dosennya. Nah, setiap tugas yang kita submit pasti dibaca, dikoreksi  dan selalu dikasih feedback langsung oleh dosennya. Kita diberi tahu langsung kurangnya dimana sehingga kita ngeuh bagian-bagian mana saja yang harus kita perbaiki. Atmosfer akademik seperti ini secara otomatis membuat kuliah berasa lebih santai tapi tetep serius.  Seru kan?

So, put The Netherlands on your list and as the alumni, I highly recommend you to join Radboud University!๐Ÿ˜

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                         

                                

Comments

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Bu deaaa, nawwa sangat termotivasi nih jadinya hehehe maap yaak tengok tengok blognya :')

    ReplyDelete
  3. Nawaaa.. lama tak jumpa, :)
    Alhamdulillah kalo jadi termotivasi, didoain biar nawa jga bisa kesana, Klo perlu bantuan atau butuh informasi bilang yah

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Makasih yah 2023, Hai Hallo 2024!

Sponsored by kerikil skenanya Kopitagram Bandung Hi! Lama tak jumpa. Tau nggak, huruf pertama tulisan ini aku tulis di 00.00 menuju tahun 2024 (penting banget ya?). Kesannya kayak disengajain banget yah biar dapet momennya. Padahal sebenernya nggak juga lo. Sebenernya aku nulis karena aku nggak bisa tidur (padahal udah rencana banget tidur cepet biar pagi di tahun baru bisa ku isi dengan ngerutinin jogging pagi lagi). Tapi ya mau gimana, matanya nggak mau merem. Sebenernya juga tiga bulan belakangan jadwal tidurku balik kacau. Ini ngefek juga ke rutinitasku yang lain (yang tadinya udah mulai kek orang sehat dan bener, haha). Aku mulai sering skip olahraga, makan berantakan, ngopi tiap hari dan berakhir dengan mata panda yang makin kentara (gimana mau glowing coba? Katanya kau mau glowing hey!). Oke, selagi rang-o-rang pada dar der dor di luar sana, mari kita recap tahun 2023 kemaren yah (sebulan lalu Vici bilang supaya aku mulai harus rajin nulis jurnal akademik , biar kalo lagi ...

Nijmegen, Kota Kecil yang Bikin Susah Move On

Jadi.. tadi malam, sebelum tidur, iseng-iseng saya buka instagramnya gemeente Nijmegen. Gemeente itu mungkin kalo di kita sama kayak pemerintah kota mungkin yah. Di akun instagram itu, baru aja diupload foto terkini Nijmegen. Lagi bersalju, cantik banget. Well.. mungkin nggak banyak yang tau Nijmegen itu adanya di mana. Tempatnya emang nggak setenar kota-kota cetar di Eropa macam Amsterdam, Paris, Roma atau mungkin Berlin. Tapi jangan salah, Nijmegen itu punya mantra sendiri yang bisa bikin orang nggak bisa move on . Ehm.. dulu saya itu pernah jadi warga Nijmegen. Nggak lama sih, cuma setaun. Waktu itu saya tinggal di sana buat nerusin kuliah saya. Saya inget, pas dulu saya baru pulang ke Indonesia terus ketemu orang-orang baru, mereka itu nanyanya nggak jauh-jauh dari: “Dulu di Belandanya di mana?” “di Nijmegen”  “Hmm.. Nijmegen itu di sebelah mananya Amsterdam yah ?” Atau bahkan ada yang nanya “Emang ada yah di Belanda kota yang namanya Nijmegen?” Bahkan ...

HALF TIME: MARI BERJEDA

  Udah dua minggu lebih ini aku nggak buka Instagram (Yey!! Ternyata aku bisa, hahaha... *aku bangga ๐Ÿ˜Ž ). Bukan apa-apa, terakhir aku buka, alogaritma Instagramku nggak baik. Selain itu, baru aku sadari kalo kapasitas kepalaku saat ini ternyata tidak cukup punya banyak ruang kosong untuk menampung pikiran-pikiran baru (yang lama-lama buang makanya jangan ditampung terus,  Malih!!!).  Di samping itu, terakhir kali aku  log in,  aku sedang ada di mode harus mengurusi dan menyelesaikan banyak hal, dan kebetulan berbarengan dengan datangnya masa  premenstrual syndrome  (tau sendiri kan perempuan kalo lagi PMS rasanya gimana, orang nafas aja bisa jadi salah  ๐Ÿ˜… ). Semua hal itu tentunya adalah kombinasi ciamik untuk membuat diri merasa begitu buruk ketika kena alogaritma Instagram yang tidak terlalu baik. Bawaannya bikin  mood drop  dan akhirnya  overthinking . Ujung-ujungnya tanpa sadar  negative vibes ku  leaking  ...