My weeks have been very hectic lately… program studi lagi persiapan reakreditasi dan aku dapet tugas buat ngumpulin data dan nyusun borang. Seriously… kemarin-kemarin, rasanya waktu itu singkat banget, baru bangun tidur trus berangkat kerja, pulangnya malem, tidur, bangun lagi, kerja lagi, pulang malem lagi … gitu aja terus. Untungnya… di sela-sela ke-hectic-an itu masih ada temen-temen yang selalu siap diajak piknik cuma buat ngerefresh diri biar tetep waras. Aku juga bersyukur karena Tuhan seolah selalu ngingetin kenapa pada akhirnya aku memilih pekerjaan ini dan love it so bad!
Anyways… Let’s talk about something else, shall we?
Sebulan kemarin dunia perjagadmayaan lagi heboh sama tanggar 10 years challenge. Sebagai penghuni dunia maya, Aku juga ikutan buat seru-seruan. Tadinya pengen banget ngetawain diri sendiri yang mukanya dari dulu begitu-begitu aja. Artinya, itu muka emang nggak ada progress yang berarti sama sekali, haha… Tapi tenang, kita nggak bakal bahas foto muka aku yang mungkin lebih cocok disimpen buat nakutin tikus. Aku pengen sedikit ngobrol tentang personal development aku sebagai seorang pribadi dalam sepuluh tahun ini.
So, let me tell you who I was in 2009 …
Di 2009, aku masih kuliah S1 tingkat dua, dari sisi umur waktu itu aku baru mau menginjak 18 tahun. Lagi berapi-apinya, kayak lagunya Bung Rhoma lah ‘masa muda, masa yang berapi-api’. At that poin, I’d labeled myself as ‘a super determined-and-know what I want person’. Di tahun itu aku emang lagi semangat-semangatnya meniti mimpi. Saat itu, aku punya target buat lanjutin ke Belanda dan buktiin sama orang-orang kalo pilihan hidup yang aku buat itu nggak salah (Selow anak muda, selow… jangan seberapi-api itu, nggak baik buat kesehatan). Saat itu, memang banyak orang yang menyayangkan keputusan aku kuliah di sastra, apalagi sastra sunda, termasuk orang tua. Mereka pasti bilang, “nanti selesai mau jadi apa?” (Lah? ini jadi ape? :D).
Aku sendiri justru melihat kuliah di sastra itu sebagai jalan awal biar bisa kuliah di Belanda. Dari hasil penelusuran minat bakat aku waktu di SMA, aku diberitahu kalau Tuhan kasih aku gift dari sisi bahasa, dan aku memang ngerasa passion aku ada di sana. Maka dari itulah aku mantap pilih sastra. Aku pribadi selalu yakin apapun yang kita lakukan, kalo dikerjakannya dengan passion dan sepenuh hati, pasti nggak sia-sia.
Dan karena itulah di umur yang baru mau nginjak 18 itu, aku kayak lagi kejar setoran. Pagi siang aku isi dengan belajar dan ngerjain sesuatu buat nambahin isi CV (nggak heran kan kenapa ini kantung mata begitu kentara). Serius banget pokoknya. Sampe kadang lupa buat maen-maen sekedar refresh. Apalagi punya waktu buat menyayangi diri sendiri. Semuanya karena aku memang takut gagal, aku terlalu control freak sehingga takut apa-apa yang udah direncanakan nggak berjalan sesuai rencana. Susah rasanya menerima kegagalan buat aku saat itu. I was my own worst enemy!. Mungkin kalo aku bisa balik ke masa itu, aku pengen banget bilang “give yourself a break, dea.. Seloo!”. Aku emang dulu kurang bisa menikmati hidup, dan terlalu banyak mikir, makanya apa-apa dipikirin, dan jadinya selalu over-thinking. Padahal over-thinking itu jelas nggak bagus. Selain itu, my empathic side frequently killed me. Aku nggak bisa tahan kalo liat anak kucing sendirian meong-meong di pinggir jalan, rasanya udah jadi kayak jadi makhluk paling nggak berguna di dunia aku ini (Well, I can’t help, I’m a Pisces! And anyways… don’t fall in love with a Pisces, ntar situ susah move on nya). Dulu ketakutannya terlalu banyak, takut patah hati, takut nyakitin orang lain, takut nggak diterima orang lain sebagai seorang pribadi, takut diangap ini, takut dianggap itu, takut jadi diri sendiri …
Simply say, I didn’t appreciate myself, and had no idea about self-acceptance at all. Atau mungkin bisa aku bilang, saat itu.. I knew what I wanted, but had no idea who I was.
Then, who am I in 2019? Dalam rentang 10 tahun dari 2009 ini, ada banyak hal yang jauh membuat aku merasa lebih baik. Mungkin di tahun 2009, agak sulit buat aku menerima kegagalan dan memaafkan diri sendiri. Sekarang ini aku merasa lebih jauh bisa menerima kegagalan dan melepaskan apa yang memang nggak jadi rejekinya aku. Sekarang ini aku bisa dengan mudah bilang “ya udah bukan rejekinya”. Sangat jauh lebih mudah juga rasanya buat aku yang sekarang menerima apa yang memang tidak berjalan sesuai rencana. Kalo di tahun 2009 yang aku pikirkan jauh lebih tentang personal achievement, sekarang ini aku lebih berpikir gimana caranya aku bisa berkontribusi kepada sesama. Well, I’m aware that I’m not a leader but I know it very well that I’m a giver.
Aku versi muda selalu terlalu takut buat sakit hati, makanya sering kali belum apa-apa udah mundur duluan. Kata orang Sunda mah “kumeok memeh dipacok”. Sekarang, aku yang tuaan ini udah sama sekali got nothing to lose, hajar aja dulu. Kalo katanya Paramore mah “It’s not that I don’t feel the pain, It’s just I’m not afraid of hurting anymore”. Terus, Aku yang kalo apa-apa selalu over-thinking dan terlalu sensitif (maksudnya bukan gampang sensi yah tapi gampang mewek, well can’t help… it’s in my vein), sekarang ini udah bisa lebih mengontrol dan mengikhlaskan ketakutan yang ada di kepala aku. Dan yang terpenting adalah aku nggak takut menyayangi dan menerima diri sendiri. Sekarang aku lebih banyak ngobrol sama diri sendiri, lebih mau dengerin apa yang sebenernya diinginkan oleh diri aku yang paling dalam (Cieee..... )
Mudah-mudahan di sepuluh tahun selanjutnya, aku bisa jauh lebih baik sebagai seorang individu. Dan dengan bertambah tua dan lebih kalem (yakin bu??) bukan berarti aku udah nggak punya mimpi lagi. Sebenernya masih ada satu mimpi besar di kelapa. Tapi sekarang, aku lebih melihatnya itu seperti bonus aja. Kalo bisa dapet ya Alhamdulillah, kalo nggak ya bukan rejekinya. Toh, masih banyak hal yang bisa aku lakukan buat bisa jadi berguna. Well… see yaa!!:D
Aamiin...
ReplyDeleteAlways be the better version of you 😘
I will 😉
Delete