So here we go again..
Kenapa harus ada kata ‘lagi’?
Karena dulu saya juga menulis. Sebagai 'anak sastra', you had no choice but to write down what you feel and see. Tapi kemudian idealisme “anak sastra” ini took its toll on me. Saya memandang tulisan saya sendiri “rubbish” karena nggak “nyastra”. Otak saya saat itu dibebani doktrin "kalo nggak nyastra jangan nulis". Padahal, bagian otak saya yang lain sadar kalo sastra itu jenisnya banyak. Dan setiap penulis punya gaya masing-masing.
Tapi kemudian idealisme “anak sastra” saya mulai luntur seiring umur yang semakin bertambah. Semakin hari semakin saya bisa memahami kenapa dulu dosen mata kuliah apresiasi sastra saya mati-matian encourage mahasiswanya buat nulis. Dia selalu bilang “mulai dari buat catatan harian”. Beliau bahkan selalu mengingatkan :
Saya pernah punya blog, punya juga catatan harian. Tapi blognya saya hapus, dan buku hariannya saya bakar. Alasannya sederhana, ‘tulisan saya terlalu rubbish untuk seorang mahasiswa sastra’. Konyol? Sangat!. Saya membakar semua memori kehidupan saya hanya demi sebuah idealisme sesaat. Saat itu saya benar-benar tidak memahami kalau menulis itu bukan untuk dianggap ‘nyastra’ tapi untuk napak tilas apa yang pernah terjadi dan apa yang harus kita perbaiki. Bukan untuk dibaca dan dipuji orang banyak tetapi untuk refleksi diri.
Alhamdulillahnya saya sadar dan menyesal. Saya menyesal karena saya telah kehilangan memori tentang momen-momen yang kadang tak bisa saya ingat dengan ingatan saya. Ada banyak kejadian penting yang sangat ingin saya ingat, tapi perlahan kapasitas otak saya mulai kehilangan kecanggihannya. Ada banyak hal yang tidak terpotret secara jelas di dalam ingatan saya
So.. demi memori-memori yang harus tetap dipertahankan, mari menulis (kembali)! :)
Kenapa harus ada kata ‘lagi’?
Karena dulu saya juga menulis. Sebagai 'anak sastra', you had no choice but to write down what you feel and see. Tapi kemudian idealisme “anak sastra” ini took its toll on me. Saya memandang tulisan saya sendiri “rubbish” karena nggak “nyastra”. Otak saya saat itu dibebani doktrin "kalo nggak nyastra jangan nulis". Padahal, bagian otak saya yang lain sadar kalo sastra itu jenisnya banyak. Dan setiap penulis punya gaya masing-masing.
Tapi kemudian idealisme “anak sastra” saya mulai luntur seiring umur yang semakin bertambah. Semakin hari semakin saya bisa memahami kenapa dulu dosen mata kuliah apresiasi sastra saya mati-matian encourage mahasiswanya buat nulis. Dia selalu bilang “mulai dari buat catatan harian”. Beliau bahkan selalu mengingatkan :
“Kalo ide mengetuk pintu, langsung tulis. Kalau kamu terlambat, ide itu tidak akan pernah kembali. Kalaupun dia kembali mengetuk pintu, dia mungkin akan datang dalam wujud yang berbeda”.Buat saya saat itu, menulis catatan harian hanya akan membuka luka lama, membuat apa yang ingin kita lupa malah jadi semakin kita ingat. Ya, saat itu saya adalah anak muda (dan sekarang pun masih J) yang sedang menghadapi masa-masa “full of anger and being emo”, yang kemudian bisanya hanya menghasilkan tulisan yang isinya selalu mengutuk keadaan. Tapi kemudian, waktu membuat saya sadar kalo saya tidak akan selamanya menjadi ‘emo’. Akan ada masa dimana pada akhirnya saya akan memahami kenapa saya menulis apa yang telah saya tulis.
Saya pernah punya blog, punya juga catatan harian. Tapi blognya saya hapus, dan buku hariannya saya bakar. Alasannya sederhana, ‘tulisan saya terlalu rubbish untuk seorang mahasiswa sastra’. Konyol? Sangat!. Saya membakar semua memori kehidupan saya hanya demi sebuah idealisme sesaat. Saat itu saya benar-benar tidak memahami kalau menulis itu bukan untuk dianggap ‘nyastra’ tapi untuk napak tilas apa yang pernah terjadi dan apa yang harus kita perbaiki. Bukan untuk dibaca dan dipuji orang banyak tetapi untuk refleksi diri.
Alhamdulillahnya saya sadar dan menyesal. Saya menyesal karena saya telah kehilangan memori tentang momen-momen yang kadang tak bisa saya ingat dengan ingatan saya. Ada banyak kejadian penting yang sangat ingin saya ingat, tapi perlahan kapasitas otak saya mulai kehilangan kecanggihannya. Ada banyak hal yang tidak terpotret secara jelas di dalam ingatan saya
So.. demi memori-memori yang harus tetap dipertahankan, mari menulis (kembali)! :)
Comments
Post a Comment