(Disclaimer, ini kejadian tahun 2013 lalu, tapi berhubung yang nulis malesnya agak kebangetan, jadilah baru ditulis sekarang. Ceritanya buat nostalgiaan katanya)
Setelah kita duduk nyaman di kursi bis masing-masing, sore itu kita bersiap menuju Milan bersama ID Bus. Karena cukup lelah, aku lebih banyak terlelap di perjalanan. Aku nggak inget persis bis kita lewat mana aja. Yang aku ingat cuma pas sesekali aku bangun, kita itu lewat semacam jalan tol yang ada tulisan "Torino" nya. Yang terpikir di otakku saat itu adalah "Waahh.. lewat kandang Juventus nih".
Menjelang dini hari, ID Bus kita berhenti di semacam rest area dekat-dekat Milan. Di sana ada cafe kecil namanya "Storie di Caffe". Karena kita terakhir makan itu kemarin siang menjelang sore, aku langsung bergegas pesan menu ikan+kentang goreng dan tentu saja cappucino. Entah kenapa menurutku saat itu, kopi di luar Belanda itu kok rasanya lebih enak aja. And btw, aku baru bener-bener tau rasa kopi yg sesungguhnya itu sejak kuliah S2 ini. Ternyata beda yah sama rasa kopi sachet yg biasa kuteguk sehari tiga gelas itu, haha... Balik lagi, meskipun agak ngantuk, aku paksain buat makan. Bukan apa-apa, dalam pikiranku saat itu, perjalanan di Milan pasti butuh tenaga. Selain itu, kita nggak tau juga nanti kita bisa mulai dapet makan lagi jam berapa. Setelah selesai istirahat, Madame ID Bus panggil semua penumpang buat kembali ke seat masing-masing dan melanjutkan perjalanan.
Pagi hari itu tanggal 23 Desember 2013 sekitar pukul 08.00an kita sampai di Milano Autostazione Lampugno. Gampangnya, ini adalah terminal bisnya Milan. Pagi itu terminal bis sepi. Aku nggak tau memang begitukah setiap harinya atau emang pas saat itu lagi sepi aja. Soalnya kalo dibanding Terminal Leuwi Panjang, Leuwi Panjang ramenya kayak setiap saat aja. Karena kita belum makan pagi, turun bis kita putuskan untuk jalan kaki sambil cari makan pagi. Sejujurnya saat itu, aku sendiri nggak tau di Milan ini kita mau kemana. Dan sebagai yang paling bontot, aku sih hayu aja kita mau jalan kemana juga. Surprisingly, terminal bis tempat kita tiba ini ternyata cuma 10 menit dari San Siro. Lalu Mas Levi bilang kalo kita bakal ke San Siro. Wuihh.. seneng banget dong aku (sebagai die hard football fan yang dari sejak SD langganan tabloid Bola dan Soccer gimana nggak seneng coba?).
Sesuai rencana, kita jalan menuju San Siro sambil sekalian nyari makan pagi. Pagi itu ternyata belum banyak cafe yang buka. Beruntung kita ketemu satu cafe kecil yg cukup rame sama bapak-bapak yg lagi pada ngumpul sambil ngopi. Belakangan baru aku sadari kalo orang-orang Italia ini ternyata lebih hangat dan lebih senang ngumpul daripada orang-orang Eropa bagian atas macam Belanda. Kita masuk ke cafe tersebut dan langsung cari tempat duduk. Beberapa Bapak yang lagi ngumpul di sana liatin kita dengan pandangan yang cukup aneh. Bagi mereka mungkin aneh aja ada lima orang Asia (dengan tiga hijabi diantaranya) tiba-tiba masuk cafe tempat mereka kumpul. Meskipun awalnya ngeliatin dengan pandangan yang aneh, bapak-bapak ini kemudian senyum hangat sama kita. Setelah duduk, Mas Levi coba tanyain ada makanan apa aja di sana. Ternyata karena masih pagi, mereka belum prepare makanan apapun. Yang tersedia cuma kopi. Karena kadung duduk, kita akhirnya pesen kopi dan seperti biasa aku pesen capuccino (lagi). Setelah menghabiskan minum, kita lanjut perjalanan ke San Siro. Karena saat itu winter dan matahari terbitnya agak telat (meskipun udah hampir pukul sebelas siang), San Siro masih berkabut dan sepi pas kita tiba. Loket tiket masuk stadionpun belum dibuka.
|
San Siro masih berkabut |
|
Salah satu gatenya San Siro |
Sambil tunggu loket tiket dibuka, kita foto-foto di depannya sambil lurusin kaki yang sebenarnya agak pegel. Menjelang siang hari, loket mulai dibuka dan petugas stadion mulai pada berdatangan. Aku, Mas Levi dan Mas Budi yang memang maniak bola langsung bergegas beli tiket supaya bisa stadium tour. Untuk sekali kunjungan, saat itu harga tiketnya 10 Euro. Mbak Azizah dan Mbak Indri (yang memang nggak terlalu into bola) memilih skip dan nunggu di luar stadion.
|
Tiket masuk San Siro Museum saat itu |
Di dalem stadion kita dipandu sama seorang tour guide. Entah kenapa wajah tour guide kita ini mengingatkan aku sama Francesca, salah satu mahasiswa PhDnya Radboud yang saat itu lagi neliti bahasa Ambon Malay (pada akhirnya beliau jadi pembimbing tesisku). Kita keliling dari mulai ruang ganti sampe ruang showcasenya. Saat itu barulah aku tahu kalo Giuseppe Meazza dan San Siro ternyata adalah stadion yang sama (kemane aje coba? katanya maniak bola, haha..). Giuseppe Meaza itu nama yang dipake sama Inter Milan sedangkan San Siro adalah nama yang dipake AC Milan untuk stadion yang itu itu juga sebenernya. Ku pikir selama ini AC Milan dan Inter Milan itu kandangnya beda, cuma di satu kota yang sama aja macam Arsenal sm Sp*rs, haha... Di dalem stadion, ruang ganti dibagi buat dua kubu, satu punya AC Milan dan satu lagi punya Inter Milan. Kalo dilihat secara kasat mata nih, menurutku ruang gantinya AC Milan lebih keliatan fancy dan rapi daripada punyanya Inter. Selain itu, menurut tour guidenya, kalo lagi derby tifosinya Inter dan AC Milan punya "daerah kekuasaannya" masing-masing. Dengan tata letak tribun stadion yang nggak begitu jauh ke lapangan, kebayang banget sih gimana sengitnya pas mereka derby della madonnina.
|
Punya Legendnya AC Milan |
|
Punya Legendnya Inter |
|
Salah satu sudut ruang gantinya Inter |
|
Ruang gantinya AC Milan |
Selesai stadium tour, tujuan kita selanjutnya adalah pusat kotanya Milan. Karena saat itu hp kita udah pada sekarat batrenya dan internet juga masih agak terbatas, kita coba tanya ke warga lokal gimana caranya buat ke pusat kota. Mas Levi coba tanya ke pelayan toko di deket San Siro dan dijawab pelayan toko itu dengan kalimat yang singkat padat dan jelas yaitu "No English", haha... Ternyata, di Itali saat itu penggunaan bahasa Inggris belum seumum di Belanda. Jadilah agak susah buat kita kalo harus tanya warga lokal. Akhirnya entah gimana kita naek bis dan sampe di pusat kota. Tujuan kita ke tengah kota sebenarnya itu kita mau lanjut perjalanan ke Venezia (Venice) dari Milano Centrale. Tapi sebelum itu, karena kita belum makan, kita mampir di sebuah restoran dekat Milano Centrale. Aku sempat bingung pilih menu karena meskipun di sana menunya kebanyakan pasta, aku nggak tahu mana yang enak tapi tetap halal. Beruntung waiternya ternyata orang Arab, dan dia bilang bahwa aku bisa makan spagetti bolognesenya mereka karena dagingnya halal (tanggung jawab dia sama Tuhanlah ya kalo ternyata nggak halal, dia yang jamin kan? haha). Akhirnya sesuai rekomendasi, aku putuskan pesan spagetti bolognese dan tentu saja cappucino. Btw, ada yang lucu sama waiter ini. Waktu itu temen-temenku lagi pada iseng, mereka nyeletuk kalo aku nggak ada pasangan dan lagi cari suami, haha... Dari sisi kita, kita tentu anggap celetukan kita-kita ini sebagai becandaan temen-teman nongkrong biasa kayak kalo lagi ngariung di Indonesia aja. Taunya, si waiter ini nanggepin becandaan kita itu dengan super serius. Dia balik flirting dan ngajakin ke tahap serius, haha.. serem bener!!! (ternyata emang orang asing tuh nggak boleh diajak becanda ginian guys, haha...)
|
The best spagetti bolognese to date |
Anyways.. spagetti bolognese ini adalah makanan pertamaku di Italia dan ternyata, eeeenaaaakkk pake banget... baru kali itu aku makan spagetti bolognese seenak itu. Bumbunya nggak berlebihan, pas dan menyenangkan. Oh iya karena makanannya enak, Mbak Azizah inisiatif takeaway pizza buat bekel kita selama perjalanan ke Venezia.
|
Teman-temanku, disponsori oleh Tranitalia Frecciarossa dan pizza margerita hasil takeaway |
|
Bersiap naek kereta ke Venezia |
Comments
Post a Comment